Suatu waktu kita dipaksa berdepan untuk berkata benar tapi pahit
atau terus berdusta untuk bahagia.
Lalu kita memilih diam.
Namun hati tidaklah tercipta untuk terus berhipokrasi dalam tempoh yang lama.
Maka saat emosi mengalahkan logika, kita pun tewas.
Entah lantaran khilaf atau bebal, ataukah sememangnya kebenaran itu harus memang terungkap dalam bentuk menyakitkan?
Ia mampu saja menyasar kita ke landasan yang mengelirukan
hingga akal pun selalu tersesat jalan.
Kalau warasnya terhenti di simpang tiga,
kenapa kita tidak balik saja di jalan yang cuma ada satu tanpa simpang,
supaya langkah kita tak semakin tersiur?
Aku juga sudah lelah menjadi kompasmu, sedang kau juga sudah penat meminjamnya dariku.
0 comments:
Post a Comment