Ada
hantu di kepalaku. Hantu itu berupa wajahku. Hanya wajahnya jauh lebih hodoh
dariku dengan kulit kehitaman dan mata yang merah menyala. Tubuhnya kadang
kurus, kadang gemuk, bergantung kepada amal kebaikan yang aku lakukan. Semakin
aku banyak melakukan kebaikan, semakin kurus tubuhnya. Lalu dia akan mengamuk
dan memekik dengan suaranya yang gempita. Nyaringnya menimbulkan desing di
telingaku dan sakit yang luar biasa di kepalaku. Biji-biji ubat pembunuh sakit
pun tidak akan dapat menghentikannya. Dia hanya akan berhenti kalau aku nekad
meminta doktor menyuntikku dengan ubat penenang. Lalu kami akan terbang bersama
dalam kepulan awan yang putih. Aman.
Aku
tidak sedar sejak bila hantu itu wujud. Aku
cuba mengingat. Mungkin sekitar lima belas tahun lalu saat aku menikam ayahku
sendiri dengan belati tajam yang selalu kusimpan di bawah tilamku. Ataukah ia
wujud sejak lama dahulu, saat ayah menjadikan ibu sebagai mangsa deranya dan
aku sebagai mangsa kepuasan serakahnya. Aku tidak pasti.
Pada
mulanya hantu itu berupa anak kecil manis yang kukira adalah kembarku. Dia
sering mengunjungiku di kamar saat aku menangisi nasib malangku. Dia memujukku
dengan suaranya yang lunak dan membawaku bermain dalam dunianya yang aneh.
Semakin lama, dia kian kerap mengunjungiku hingga aku merasakan kebergantungan
yang melampau kepadanya. Hanya dialah satu-satunya teman yang memahamiku kala
itu. Teman-teman yang lain hanya tahu mentertawakan nasibku. Atau paling tidak,
sekadar menghulur tatapan simpati.
Masa
berlalu dan kembarku itu pun ikut beranjak dewasa mengikut usia perkembanganku.
Dia masih setia di sisi menemani aku. Tapi kali ini dia tidak lagi mengajak aku
bermain ke dunianya yang aneh. Dia sudah mulai membisikkan saranan-saranan agar
aku mampu melindungi diriku dari terus menjadi mangsa keadaan. Kalau aku enggan
menuruti permintaanya, dia akan merajuk marah dan meninggalkan aku sendirian.
Akhirnya terpaksalah aku memujuknya dengan melakukan segala saranannya. Saranan
pertama yang aku tunaikan adalah melempar batu ke kepala anak jiranku yang
sudah sering mempermainkan aku. Anak itu menjerit kesakitan dengan darah yang
mengalir dari dahinya. Aku merasa kepuasan yang luar biasa saat itu. Kami kemudiannya meraikan kemenangan yang
indah itu dengan menari di bawah pohon ketapang depan rumah.
Sejak
peristiwa itu aku menyedari ada sesuatu yang lahir dalam diriku yang bernama
keyakinan diri. Semakin hari, semakin banyak saranannya yang aku penuhi. Anehnya,
semakin banyak dendam yang terbalas, semakin dia berubah wajah dan watak.
Wajahnya yang mulus itu dulu kini berubah menjadi hantu yang mengerikan.
Matanya terbelalak dan mulutnya sentiasa menyeringai sampai aku sendiri takut
melihatnya.
Namun semenjak dua menjak ini
hantu itu muncul kembali. Aku tidak tahu apakah yang telah membebaskannya dari
penjara bawah tanah yang telah kukedap mati selama ini. Perjuanganku untuk bertahan selama lima belas
tahun terasa seperti sia-sia. Kukira dia sudah mati. Ternyata tidak. Dia muncul
secara perlahan dan senyap untuk pertama kali saat kujemput ibu dari penjara. Dia
kemudiannya muncul dalam bayang sekilas. Bayang itu akhirnya menjadi subjek
yang jelas ketika aku sudah mulai melihat seringainya di kepalaku....
0 comments:
Post a Comment