Tuesday, February 7, 2012 | By: Luna Biru

Aku ingin menemanimu menua

Sebuah pohon kelapa yang tua renta, nyiurnya tidak lagi melambai segah waktu mudanya. Pelepahnya mulai meriput dan daunnya pun mulai gugur. Satu-satu persatu. Genta. Aku menyaksi semua proses itu. Saatnya mulai tumbuh dan begitu berguna, hinggalah ia tua dan keriput. Aku menunggu saat ia tumbang. Tapi akarnya tak pernah mahu diajak berunding. Tetap ia teguh memahat nadinya ke dalam bumi.

Aku memikirkan kalau aku punya pilihan untuk melihat kita menjadi setua kelapa itu.

Pasti kau masih tampan saat itu walau rambutmu sudah putih semua, atau kulitmu sudah kendur dan gigimu sudah merapuh. Dan aku, pasti masih cantik di matamu Walau cantik yang kau banggakan dulu itu sudah terhapus oleh masa dan usia, tapi aku yakin, kau pasti akan terus menggandeng tanganku saat menelusuri jalan sesak dan memimpinku saat pekatnya malam.

Aku benar-benar ingin melihat saat itu.

Saat kau menyisir rambutmu yang sudah tinggal separuh di atas kepala dan separuh lagi tertinggal di sisir. Saat kau membelai rambutku nyatanya lebih banyak tertinggal di atas bantal. Aku ingin melihatmu berdiri dengan susah payah selepas tahiyat akhir dan aku mahu kau membantuku bangun dari katil saat subuh menjenguk langit. Aku ingin kita masih begini, bercerita tentang isu anak-anak yang nakal dan membahaskan siapa yang mewarisi pandai siapa. Oh, tapi mungkin saat itu kita sudah mulai berbicara soal cucu-cucu yang lucu dan menilai cucu yang mana mewarisi tampanmu dan cantikku. Aku mau terus mendengar desah dengkurmu yang terhasil dari penyakit gastrik yang telah kau alami sejak muda dulu. Dulu, aku sering membangunkanmu saat bunyi itu merusak tidurku. Tapi aku yakin, bahkan sekarang ini pun, bunyi itu sudah bagai irama perlahan di telingaku. Kalau ku tua nanti, pasti telingaku sudah menuli lantaran kesan ubat migrain yang selalu kuambil, makanya, bunyi itu sama sekali tidak akan merusak tidurku lagi.

Bukankah indah menjadi tua?

Aku ingin kita bersama menonton televisyen di atas sofa empuk yang sesuai untuk punggungku yang selalu sakit. Kita pasti akan membahaskan tentang buruknya lakonan si pelakon itu atau cantiknya angle kamera si pengarah sinematografi. Ia adalah sesuatu yang sukar kita lakukan saat ini. Kau dengan teleku di meja kerjamu dan aku yang berperang di dalam dapur. Waktu itu kau pasti tak perlukan meja kerjamu lagi kerana matamu sudah mulai mengabur sampai kau sukar membaca huruf-huruf di dada monitor. Dan aku pasti tak perlu berperang lagi dengan kuali dan api kerana sudah tidak ada lagi beban-beban kerja tertangguh di dapur, atau gelas-gelas kosong berhamburan di atas sinki kerana waktu itu cuma tinggal kita berdua.

Aku tak sabar menanti detik itu.

Saat usia sudah merah seperti senja di laut yang aku suka. Mahukah kau menemaniku melihat pesta matahari jatuh saat itu kerana tidak lagi yang perlu kau khuatirkan tentang iblis yang bakal menganggu anak-anak kecil kita. Atau, masihkah kau terus takut dan percaya pada kuatnya kuasa iblis hingga aku tetap tak berpeluang melihat indahnya saat itu? Ah, mana mungkinlah. Aku yakin saat itu ilmu kebalmu sudah cukup hingga kau mampu melawan ketakutan itu. Sekejap saja. Lalu lepas itu, kita bisa kembali berjemaah solat maghrib bersama-sama. Akan kucium dua tanganmu selepas solat dan kau akan mengucup dahiku dengan cinta seperti saatnya pertama kali kau mengucup dahiku pada hari kita diijabkabulkan.

Aku ingin kita tua bersama.

Meski tua bermakna ajal sudah mulai mendekat. Entah kau atau aku yang pergi dulu. Tapi kuharap biarlah Tuhan menjemputmu dulu kerana aku khuatir kalau aku tiada nanti, tidak ada lagi yang mengurus makan minummu. Aku tak mahu kau merindui wangi kek butterku dan empuk ban manisku saat minum petang yang sempurna. Aku tak mahu kau teringin lagi makan sayur pahit yang digaul bersama telur omlette yang selalu kau langiskan di atas pinggan porselin putih kesayanganku. Pasti ia adalah hari yang sukar untukmu. Sungguh, ia adalah hari yang sukar untukku juga bila ternyata tiada lagi bebelanmu tentang bilik yang kusemakkan dengan baju-baju terpakaiku. Apalagi memikirkan tiada lagi satu-satunya peminat masakanku yang sebenarnya tidak enak sama sekali, tapi hanya kau yang mampu menikmatinya. Namun, andai Tuhan menjemputku dulu, kuharap kau mahu membaca penulisan-penulisanku, dan membukukannya agar bisa dibaca oleh anak dan cucu kita.

Akankah kita melalui detik itu?

Atau, kita akan menjadi seorang tua yang masing-masing yang hanya berbekalkan memori tentang cinta dan penyesalan. Belumpun tua, cermin kita sudah banyak retaknya. Atap kita sudah banyak bocornya. Dinding kita sudah banyak lubangnya. Lantai kita sudah banyak rapuhnya. Yang tinggal cuma tiang tempat kita berpaut dari angin kencang....seperti pohon kepala itulah. Pohon kepala tua di depan rumahku yang hanya berdiri kerana akar, maka rumah kita kekal berdiri kerana tiang.

Barangkali kita tak berpeluang melalui detik itu. Atau, mungkinkah juga akan, aku tak pasti. Aku hanya berdoa agar tiang rumah kita sekukuh akar kelapa yang nadinya membenam ke dalam tanah untuk menyirup air di bumi dan mengalirkannya kembali ke nyiur yang merapuh.Tentu saja nyiur kuning itu takkan kembali menghijau. Tapi sekurang-kurangnya, ia masih bisa memberikan sedikit harapan untuk nyiur itu kembali bertahan.

Mahukah kau tua bersamaku?

0 comments:

Post a Comment